Kubawa Kisah ke Amerika

Published November 27, 2012 by dwiayuni

 “Hai, Es. Kemana aja kamu? Mau ngukir sejarah untuk yang kedua kalinya, ya?” Ledek Kayla saat aku baru saja duduk di bangkuku. Aku pun berbalik dan mendongak untuk memberinya tatapan tidak terima.

“Ih, jahat banget sih kamu. Temen baru datang ngos-ngosan gini koq malah diledekin.” Bela Intan yang tadi hanya tersenyum geli melihat responku.

“Haha, Sorry honey. Memangnya kemana sih kamu tadi? Jajan ampe lupa waktu yah?”

“Aduh, kamu memang suka asal ya kalo ngomong, Kay. Aku tadi ngabisin waktu istirahat di Ruang Adiministrasi buat ngurus pertanggung jawaban beasiswa. Kalian kan tahu kalo aku memang harus nyerahin hasil rapor tiap selesai ulangan semester biar bisa tetap sekolah di sini. Sekalian tadi aku juga konsultasi sama Bu Indah tentang aplikasi scholarship overseas aku.”

“Ckckck. Hebat banget sahabat kita satu ini,” komentar Intan.

“Eh, jam tangan baru ya, Es?” Tanya Kayla sambil melirik jam tangan hitam bergambar kupu-kupu di tanganku. Akupun hanya terdiam.

“Biar aku tebak. Pasti Mas Tyo kan yang beliin kamu.”

Aku pun hanya mengangguk mengiyakannya..

“Ehmm,, enak banget ya punya kakak kayak Mas Tyo,” tambahnya. “kayaknya dia ngerti banget selera cewek. Adiknya aja sering dia manjain apalagi pacarnya. Pasti beruntung banget kalau bisa jadi pacarnya. By the Way, Mas Tyo udah punya pacar belum, Es?”

“Enggak lah. Mas itu orangnya pendiam banget. Teman dekatnya yang aku tahu aja cuma satu, gimana dia mau punya cewek,” jawabku yakin. “lagian kamu kenapa sih nanya aneh gitu?”

Kayla tertawa cekikikan mendengar jawaban polos Intan. Sepersekian detik kemudian dia bergegas duduk di bangkunya, tepat di belakangku. Begitu juga Intan yang telah duduk dengan manis di bangkunya di sampingku sekarang. Aku pun berbalik kembali menghadap papan tulis karena mengerti apa yang terjadi.

 “Selamat pagi, anak-anak.” Sapanya seraya menaruh buku-buku di atas meja.

“Selamat pagi, Ibuuuuu.”

Bu Siregar lalu membuka buku absennya. Beliau ingin memastikan semua hadir dan tepat waktu tentu saja.

“Estherita Aprilia Zahra.”

Sepertinya Ibu yang satu ini memang benar-benar ingin menagih janjiku untuk tidak terlambat lagi di kelasnya. Buktinya beliau rela meloncat dari absen satu ke absen delapan untuk menyebutku lebih dulu. Aku mengangkat tangan kananku 180 derajat dengan yakinnya. Senyuman kecilpun aku terima sebagai balasannya.

***

Prasetyo Agung Pratama. Selama perjalanan pulang aku terus memandangi punggung kakakku satu-satunya ini. Orang yang ada di depan dan memboncengku untuk pulang sekarang. Ganteng, modis, pintar, baik hati. Sama seperti aku, sejak SMP sampai sekarang, semua pendidikannya dia raih karena beasiswa penuh. Sayangnya, Mas Tyo memang terlalu pendiam dan penutup. Aku tidak pernah melihatnya pergi bersama sekelompok teman cowok, seperti anak kuliah kebanyakan.

Namun walaupun aku mengaguminya, pengalaman ganjil yang kupendam sejak beberapa bulan lalu ini tidak bisa hilang. Seberapa besarpun aku berusaha untuk menganggap itu adalah imajinasiku, aku tetap tidak bisa mengingkari bahwa itu terjadi berkali-kali, dan terlalu jelas untuk dianggap sebagai khayalan. Hal itu juga yang tanpa kusadari telah membuat jarak antara aku dan Mas Tyo sekarang.

***

Karena banyak pikiran yang terlintas tentang selama perjalanan, aku tidak menyadari bahwa kami sudah ada di halaman rumah. Seorang wanita keluar  dari rumah sambil membawa sapu. Wanita yang paling kuat yang pernah aku kenal seumur hidupku. Seorang janda yang rela melakukan apa saja demi dua anak tercintanya.

“Eh, anak-anak mama udah pulang.” Sapanya saat menyadari keberedaan kami. Aku dan Mas Tyo pun bergantian menciumi tangan mama.

 “Tyo, Aji dari tadi nungguin kamu tuh di ruang tamu. Kasian banget udah lama dia nunggu.”

“Bener, Ma?” Tanya Mas Tyo dengan antusiasnya. “Tyo ke dalam duluan ya ma.”

“Huu, dasar. Kalau udah tentang pacarnya aja semangat.” Ejekku saat Mas Tyo masuk ke rumah.

“Eh, jangan gitu, ah. Udah kamu juga masuk sana. Mandi terus istirahat.” Tegur mama

 “Ehm, oke deh.” Aku beringsut masuk.

Mama memang benar. Seketika setelah aku hempaskan tubuhku di ranjang rasanya setiap sendi di antara tulang ini meraung minta istirahat. Aku pun bergegas mandi setelah satu jam berguling-guling di atas ranjang.

Tak terasa 45 menit kuhabiskan untuk mandi. Ah, segar rasanya. Jam 20:53, waktu yang cocok untuk tidur sekarang. Saat keluar dari kamar mandiku, aku membeku. Aku lupa kalau aku hanya membiarkan pintu terbuka begitu saja selama aku mandi, dan sekarang aku baru menyadarinya. Yang kali ini bahkan terjadi lebih parah.

Seketika saat menyadari keberadaanku, dia melepaskan semua pakaian dalamku yang sedari tadi dia ciumi, lalu pergi. Setelah kelebatnya hilang, setengah membanting aku menutup lalu mengunci pintuku. Aku tertunduk, menangis. Ini sudah keterlaluan. Mas Tyo, aku bukan hanya melihat Mas Tyo memandangiku saat aku sedang berada di kamarku seperti yang sudah-sudah, namun kali ini Mas Tyo telah lancang masuk ke kamarku, bahkan mengobrak-abrik pakaian dalamku. Semakin jijik aku mengingatnya, semakin deras air mataku menetes. Dan yang makin membuatku kalut adalah aku tidak tahu apa maksudnya. Aku tidak berani membuat setiap spekulasi buruk di kepalaku. Namun, tak dapat kuhindari, perasaan takut ini benar-benar menghantuiku.

***

“Esther pulang.”

“Ya ampun, gadis Ibu kok lesu banget sih? Sakit, Nak?” tanya ibu sambil memegang dahiku.

“Esther gapapa, Ma.” Jawabku lesu. Tentu saja aku tidak akan bercerita kepada mama bahwa aku tidak nyenyak tidur semalam. Ditambah lagi untuk menceritakan penyebabnya.

 “Eh, tahu gak, Mama mau ke pasar, mau nyiapin pesta buat kita ngerayain keberhasilan kamu ngelanjutin kuliah di luar negeri.” Senyum mama semakin sumringah.

“Mama tahu dari mana?”

“Intan yang ngasih tahu mama waktu kamu masih di sekolah barusan.”

Aku hanya tersenyum kecil melihat kebahagiaan mama. Harusnya hari ini aku sudah berloncat-loncat gembira karena kabar baik yang aku nanti benar-benar datang. Namun sungguh, entah kenapa aku tidak bisa bersemangat hari ini.

Aku melangkah gontai ke dalam kamar. Entah mengapa hatiku tergelitik untuk mengintip ke dalam kamar Mas Tyo yang sedikit terbuka. Dan untuk kali ini hatiku terguncang melihat apa yang ada di dalam. Aku lemas, tak dapat bergerak.

Karena begitu terkejut akan apa yang terjadi, tanpa sengaja aku menjatuhkan buku-buku yang aku bawa. Mereka terkejut dan melihat ke arah sumber suara. Seketika aku dapat merasakan betapa menggetarnya sekujur tubuhku. Aku berlari ke kamar, mengunci pintu. Aku duduk di sudut kamar, bersandar pada meja kaca, tepat di seberang pintu kamarku. Aku tak dapat berbicara apapun, aku hanya mampu terisak.

Aku telah salah mengambil kesimpulan. Semua telah jelas. Alasan mengapa Mas Tyo sering mengintipku di kamar, mengapa ia sampai mengobrak-abrik pakaian dalamku, semuanya jelas. Aku kalut, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Jantungku hampir copot saat mendengar suara pintu kamarku yang didobrak. Aku merinding, tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Mas Tyo berhasil mendobrak. Berlari ia datang ke arahku, mendorong bahuku ke dinding. Mas Aji yang tidak ikut masuk hanya mematung memandangi kejadian ini.

“Apa yang kamu lihat?! JAWAB!” tanya Mas Tyo setengah berteriak.

Bibirku terlalu kelu untuk bicara apapun. Aku pasrah, aku benar-benar takut.

“Kamu gak tahu penderitaan Mas selama ini kan? YA KAN?!”

Suara Mas Tyo makin membahana ke seluruh sudut kamarku. Saat ini dia bukan lagi Mas Tyo yang aku kenal.

“Kamu gak tahu kan betapa menderitanya Mas selama ini?! Mas sudah berusaha untuk menjadi normal? kamu gak tahu itu! GAK ADA YANG TAHU ITU!!”

Cekikan kedua tangan Mas Tyo membuatku tidak dapat bernafas. Dadaku sakit, hatiku teriris.

“Awalnya Mas bisa menahan semua perasaan ini. Mas hampir bisa menjadi normal. Namun..”

Seluruh syarafku makin lemas ketika tangan kanan Mas Tyo mengambil gunting yang tergeletak di atas meja kacaku, dan menodongkannya ke arahku.

“Namun, setelah kematian papa, hidup Mas hancur. HIDUP MAS HANCUR, ESTHER!! SEBAGAI ANAK SULUNG MAS HARUS BERUSAHA KERAS UNTUK MANDIRI! MAS HARUS TERUS BELAJAR KERAS SUPAYA TETAP MANDIRI!!!! Dan kamu tahu apa akibatnya?!”

Aku melihat setitik aliran bening jatuh dari mata Mas Tyo. Tetesan bening yang membuat hatiku terenyuh. Yang kurasakan bukan hanya rasa sakit akibat cekikan Mas Tyo. Pelampiasan atas ketidak berdayaan akan takdir yang selama ini dialaminya seakan-akan ikut mengalir ketubuhku, mengiris batin.

“Mas gak punya teman. Mas sendirian. Di saat mas butuh, gak ada siapapun mau jadi teman Mas. GAK ADA!

“Hanya Aji yang mau ada buat Mas, hanya Aji! Dan akhirnya, dalam keterpurukan ini, kakak menyerah, Esther. KAKAK MENYERAH! NALURI LAKNAT INI SEMAKIN KUAT!! DAN SATU-SATUNYA JALAN ADALAH MENYALURKANNYA BERSAMA AJI DAN NGELALUIN KAMU!!!”

“Kamu gak tahu betapa mas iri ngelihat kamu makai semua barang yang Mas beliin buat kamu, yang seharusnya bisa Mas pakai. Kamu gak tahu betapa iri Mas nglihat kamu bisa pakai semua pakaian dalam cewek itu, yang seharusnya Mas juga bisa pakai. Kamu gak tahu! KAMU GAK TAHU!!”

Perasaan ibaku bercampur jijik saat mendengar ini.

“Mas capek gini terus, Esther. Mas capek. Mas nyerah, Esther. Mas nyerah.”

Hening. Selanjutnya semua terasa mimpi bagiku. Cipratan darah itu, suara melengking dari mulutku, kelebat Mas Aji yang menghilang pergi setelahnya, semua itu hanyalah seperti siluet bagiku, sebelum segalanya gelap, dan hilang.

***

Aku menutup kembali netbook setelah membaca e-mail yang kuterima pagi ini. Senang rasanya mengetahui penyakit mama membaik semenjak tinggal bersama bibi. Keputusan menjual rumah memang tepat. Mama bisa berpikir lebih terbuka dan tenang sekarang. Dan yang terpenting, sepertinya mama sudah dapat menerima apa yang terjadi setahun lalu, seperti halnya aku di sini.

“Have you decided what activity  you will join for this coming year, Esther?” (“Sudahkah kamu memutuskan aktivitas apa yang akan kamu ikuti tahun ini, Esther?”)

Aku terlalu asyik melamun sampai tidak menyadari bahwa Ellia telah memperhatikanku sejak tadi. Sejuknya sungai Missisipi di musim semi benar-benar dapat membawaku ke kenangan masa lalu. Kenangan yang kuyakin akan menentukan hidupku kelak, termasuk saat ini.

“Hmm,, I think so.” (“Kurasa sudah.”)

“What’s that?”

Kulirik jam tangan hitam bergambar kupu-kupuku untuk sesaat. Dengan yakinnya aku menjawab, “Community service for the homosex people.“ (Kegiatan sosial untuk orang-orang homoseks)”

Aku pun hanya menanggapi ekspresi heran Ella dengan senyum keyakinanku.

“Are you sure?”

“Absolutely.”

***

Meurut survey, 50 orang setiap harinya menyadari akan identitasnya sebagai penyuka sesama jenis. Lebih dari separuhnya dikarenakan tidak tahan akan rasa terkucilkan, terabaikan, dan sendirian.

Leave a comment